Dengki, Penghancur Masa Depan

Asmuni Syukir

Dengki, iri hati, hasad atau hasud ada di mana saja dan kapan saja. Bahkan bisa ada pada diri siapapun tanpa pandang bulu. Sejarah telah membuktikan, di kalangan ulama pun ada hasud. Konon, di perguruan tinggi pun juga tidak sepi dari hasud. Ironinya, justru para pemuka dan senior lah yang banyak memelihara kedengkian itu.

Gejalanya terlihat ketika gosip-gosip murahan bertebaran di mana-mana, bahkan di kalangan kampus yang gudangnya orang ‘pinter’ pun tidak sepi dari gosip murahan itu, baik dari mulut ke mulut ataupun via SMS. Gosip murahan? Ya, karena isinya selalu mengenai aib dan keburukan seseorang ataupun kelompok yang seringkali kebenarannya sulit diterima oleh akal sehat. Ibarat asap tiada apinya. Padahal hubungan rasional, “ada asap karena ada api” sudah tidak terbantahkan lagi. Lalu, karya siapa gosip-gosip murahan itu? Al Qur’an telah menginformasikan, bahwa ”Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga” (Qs. an Nûr 11).

Kalau demikian, jelas bahwa pembawa fitnah itu tidak jauh dari yang difitnah. Pendengki tidak jauh dari yang didengki. Tetapi anehnya mereka selalu mengira ulahnya tidak akan diketahui oleh yang didengki, sehingga mereka merasa leluasa melancarkan fitnah-fitnahnya. Mereka pun yakin, sekali fitnah ditebarkan sulit sekali dibendung dan membuat posisi orang yang difitnah menjadi tak berdaya dan tak mampu membela diri. Sebab mereka pun selalu mengamati si korban, sementara si korban tidak mengetahui tingkah laku mereka. Inilah kelicikan para pendengki, yang selalu lupa peribahasa “serapi-rapinya menyimpan bangkai akan tercium pula bau busuknya”.

Sungguh mereka itu terlalu banyak minum ‘pil goblok’ yang komplit, sehingga ilmu segudang yang dimilikinya dan berjajar gelar akademik yang disandangnya tidak memberi manfaat apa-apa kecuali hanya membahayakan bagi orang lain. Kalau demikian tidak ada gunanya kita bicara kecemer langan akademik dan profesionalisme jika penyakit dengki atau hasud masih bersarang di hati para cendekia atau akademisi. Sebab semua kecemerlangan itu hanyalah semu dan palsu. Orang pintar kok tidak senang dengan keberhasilan orang lain tanpa alasan yang jelas, apalagi berkeinginan pula untuk mencelakai orang yang meraihnya. Padahal dengan keilmuannya itu seharusnya mereka menjadi “khairun nâs anfa’uhum lin nâs”, sebaik-baik manusia adalah yang banyak memberi manfaat bagi manusia lainnya.

Barangkali karena itulah Allah Swt. memerintahkan kepada Rasulullah Saw. agar memohon kepada Tuhan supaya dilindungi dari kejahatan para pendengki (Qs. al Falaq 1-5). Perintah ini menunjukkan betapa berbahayanya kedengkian itu, sampai seorang Rasul pun terkena jahatnya hingga beliau sakit parah (HR. Baihaqi dari Ibnu Abbas).

Oleh karena itulah dalam sebuah hadits, Nabi Saw. bersabda, “Jauhilah olehmu semua kedengkian, sebab kedengkian itu memakan segala kebaikan, sama seperti api memakan kayu bakar yang kering” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah). Hadits ini mengingatkan kita betapa kejamnya kedengkian itu. Ia bisa membakar habis segala kebaikan yang telah dibangun bertahun-tahun sebelumnya. Karena di dalam rasa dengki itu selalu tersembunyi segala bentuk kepalsuan, terutama ketidaktulusan dalam persaudaraan dan persahabatan. Padahal suatu saat orang-orang yang pernah dizalimi tidak mustahil akan mengetahuinya. Ibarat pepatah, ”sepandai-pandai tupai meloncat akhirnya jatuh juga”.

Maka di saat itulah orang akan pasang ’kuda-kuda’ dan berpikir seribu kali untuk bersahabat dengan orang-orang yang diketahuinya berperangai pendengki. Ia tak percaya lagi dengan segala kebaikan dan kemuliaannya, bahkan menganggapnya sebagai ’musuh dalam selimut’, sehingga sikapnya pun akan berubah dan berbalik arah menjadi tidak hormat (respect) terhadapnya. Bahkan sekalipun orang lain tidak mengetahui sifat kedengkiannya itu, pastilah segala kebaikan, kemuliaan, dan keutamaan yang dimilikinya akan hancur dan termakan habis oleh kedengkiannya.

Bukankah kebiasaan para pendengki itu mensia-siakan waktu, karena aktivitasnya telah terpasung oleh ‘ide-ide kreatif’ untuk meneliti dan menyebarluaskan keburukan orang lain? Sementara tugas dan peran sebagai seorang manusia yang beragama dan beradab terabaikan, sehingga lupa akan norma-norma kemanusiaan dan asyik dalam kemunafikan. Di sinilah awal kehancuran martabat, kemuliaan, dan kehormatan manusia sebagai hamba yang mulia. Karena orang lain pun akan mereaksi (membalas) perlakuan mereka dengan tidak hormat. Inilah mungkin sebagian dari azab Allah sebagai balasan dari dosa yang mereka kerjakan (Qs. an Nûr 11).

Padahal mereka dari hari ke hari semakin tersibukkan oleh aktivitas kedengkiannya, sehingga semakin buta terhadap peluang kebaikan dan kemajuan. Bahkan tugas dan tanggungjawab sebagai seorang profesional, akademisi atau cendekiawan pun terlupakan. Maka sudah barang tentu kreativitas dan produktivitas kerja semakin menurun, dan semakin jauh dari prestasi. Sementara kekecewaan semakin meningkat seiring dengan kemajuan dan prestasi yang diraih oleh orang yang didengkinya.

Bukankah Allah Swt. telah berfirman, ”Janganlah kamu kira (wahai orang-orang yang didengki) bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu, bahkan ia adalah baik bagi kamu” (Qs. an Nûr 11). Ayat ini memberikan kabar gembira bagi orang-orang yang didengki, tentu saja bagi yang mau mencontoh sikap Aisyah r.a. dalam peristiwa turunnya (asbabun nuzul) ayat ini, yaitu beliau selalu berdo’a mohon perlindungan Allah dan pasrah kepadaNya, maka segala fitnah dari para pendengki justru akan menjadi pendongkrak kesuksesan. Sebab, fitnah tak lagi dibalas dengan fitnah, tetapi fitnah itu dirubahnya menjadi motivasi diri untuk hidup lebih baik. Sebaliknya pendengki cenderung hanya berkutat pada aktivitas kedengkiannya, sehingga minim akan prestasi. Maka dari sinilah awal ketertinggalan mereka, dan sekaligus awal kehancuran mereka.

Dengan demikian sungguh benar jika dengki itu adalah penghambat kemajuan dan penghancur masa depan. Untuk itulah perlu adanya gerakan untuk melawan ’musuh dalam selimut’ yang bernama dengki atau hasud dan orang-orang penyandang sifat itu** Wallahu a’lam bish shawab.

Jombang, 23 Juni 2012  ***Majelis Ta’lim & Bengkel Hati Al-Qolam***

** Artikel ini pernah dipublikasikan dalam Buletin Al-Qolam